Apabila Anda jalan-jalan ke Jogjakarta, kemungkinan di suatu rumah akan melihat sosok patung sepasang pengantin mengenakan pakaian adat Jawa dengan posisi duduk bertimpuh berdampingan. Patung laki-laki berada di sebelah kanan dan patung perempuan berada di sebalah kiri. Itulah patung Loro-Blonyo. Dalam filosofi masyarakat Jawa dan Sunda, patung perempuan untuk menggambarkan Dewi Sri atau Dewi Shri (bahasa Jawa), atau Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, atau melambangkannya sebagi dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali.
Penggambaran Sosok Nyi Pohaci & Raden Sedhana

Pemuliaan dan pemujaan terhadap sang dewi sudah berlangsung sejak masa pra Hindu di pulau Jawa. Konon Dewi Sri yang diangkat anak oleh Bethara Guru, karena kecantikannya setelah beranjak dewasa diam-diam dicintainya. Namun Dewi Sri atau Nyi Pohaci memilih meninggalkan Kahyangan turun ke bumi tepatnya di sepanjang tanah Jawa-Bali yang waktu itu masih menyambung. Di dimensi bumi, Dewi Sri memilih hidup tanpa raga. Karena raganya dipersembahkan kepada bumi pertiwi untuk memberikan kesuburan di tanah Jawa. Singkat cerita, semua tanaman yang berguna bagi manusia tumbuh dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi yang baik hati, karena dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia.
Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuna, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri –ada yang menyebutnya sebagai Dewi Asri, dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono), dari Kerajaan Medangkamulan.
Simbolisasi Dewi Sri dan Raden Sedhana dalam hubungannya dengan ritual kesuburan bagi masyarakat Jawa, mempunyai makna kesadaran kosmologis. Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Raden Sadhana dengan burung sriti (walet). Antara ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan oleh petani cenderung dihormati. Antara Dewi Sri, ular sawah, dan burung sriti dapat dilihat adanya pola hubungan yang saling menguntungkan, terutama terhadap petani. Itu yang maksud sebagai hukum tata kesimbangan alam. Kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba memahami bahwa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Burung sriti memakan serangga yang menjadi hama padi juga. Berbeda dengan burung emprit kaji (warna bulunya merah, dan putih di bagian kepala) yang justru menjadi hama karena memakan padi. Dan Dewi Sri yang memberikan pupuk untuk tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular kobra pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.
Hakekat Ritual
Dewi Sri dan Raden Sedana dipengaruhi kosmologi Jawa sebagai bentuk pemahaman asal-usul manusia yang harus dihormati sebagai leluhur atau nenek moyang bangsa Jawa, dan sebagai pemahaman pentingnya hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alamnya. Spiritual Jawa memahami bahwa kesuburan merupakan bagian dari sistem kehidupan yang berasal dari mekanisme serba berpasangan yang kemudian mendatangkan dampak kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Untuk melangsungkan kehidupan, sistem itu haruslah dipelihara atau dijaga tata keseimbangannya. Ritual merupakan salah satu upaya menjaga agar supaya mekanisme serba berpasangan itu tetap berlangsung secara sinergis dan harmonis untuk mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.
Simbolisasi melalui patung Loro-Blonyo untuk memudahkan orang menyampaikan maksud dan tujuan. Akan tetapi jika kita tidak memahami secara tepat apa makna patung Loro-Blonyo maka melihat ritual-ritual dewi sri akan membuat gatel hatinya. Pada umumya orang yang tidak paham justru buru-buru memberikan pendapat sepihak yang negative. Perlu kita pahami bahwa figure patung Loro-Blonyo dalam kepercayaan Jawa sebagai kelengkapan ritual yang diletakkan di sentong (ruang) tengah pada dalem dalam konteks rumah tradisional Joglo. Singkat kata, patung Loro-Blonyomerupakan rangkuman dari suatu makna yang luas dan mendalam bagaimana masyarakat agraris memahami kehidupan ini. Ini adalah ilmu atau kosmologi masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali maupun masyarakat di berbagai belahan bumi dalam memaknai kehidupan secara arif dan bijaksana. Masyarakat begitu mengagungkan atas segala yang diberikan oleh alam semesta untuk kehidupan ini. Loro-Blonyo merefleksikan suatu masyarakat yang begitu memahami pentingnya menjaga tata keseimbangan kosmos.
Berbeda dengan masyarakat zaman sekarang, di mana hutan yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun yang menjadi habitat ribuan makhluk hidup, dan menjadi bagian penting menjaga tata keseimbangan kosmos, telah dibabat habis secara sadis. Bahkan sawah-sawah subur banyak yang disulap menjadi tanaman beton, tembok-tembok raksasa. Manusia berlagak angkuh seolah di masa depan doyan makan bongkahan cor-coran beton atau reruntuhan tembok-tembok bangunan permanen. Apakah mereka sadar jika kelak anak cucu mereka masih butuh makanan dari bahan tetumbuhan ? Polah-tingkah manusia macam itu, tentu saja sudah tidak mengenal ritual dewi sri. Mungkin tulisan ini dianggap dongeng lucu orang-orang jadul. Hati-hatilah, cepat atau lambat pasti alam semesta akan menjomplangkan hidup sampeyan. Yang tidak sepakat silahkan saja, saran saya, bersikaplah wajar, tak perlu berlebihan.
Meskipun demikian banyak versi mengenai dewi kesuburan yang dikenal pula oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun penduduk Indonesia kebanyakan adalah muslim dan nasrani, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme. Kepercayaan lokal seperti Kejawen, Kaharingan, dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang dibarengkan dengan perayaan Maulid Nabi. Pada mulanya, tradisi Sekaten atau Garebek sebagai bentuk ritual untuk mensyukuri berkah alam semesta. Erat kaitannya dengan filosofi Loro-Blonyo Dewi Sri-Raden Sadono.
Dalam tradisi masyarakat Jawa agraris sepasang patung loro-blonyoyang menggambarkan pengantin laki-laki dan perempuan tersebut dimaknai sebagai proses penyatuan yang mendatangkan kesuburan dan kemakmuran. Kesuburan reproduksi biologis maupun kesuburan tanaman. Patung loro-blonyo sebagai sebuah pasangan diletakkan dalam posisi binair atau berdampingan erat, saling melengkapi satu sama lain. Ritual Loro-Blonyo merupakan bentuk penghormatan kepada Hyang Widhi dengan memberikan sesaji sebagai sedekah atau pengorbanan yang dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur. Sedekah atau pengorbanan merupakan wujud syukur dalam arti konkrit yakni dengan perbuatan nyata, bukan sekedar ucapan lisan atau hanya ngomong doang sambil berharap-harap pahala gede. Pada masyarakat Jawa dikenal ritual Mapag Dewi Sri (menjemput dewi sri), wiwit (memulai) sedekah yang dilakukan pada saat tanaman padi menjelang panen. Rasulan merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung sangat lama di kabupaten Gunung Kidul dan sekitarnya serta diadakan sekali dalam setahun. Rasulan adalah sebuah ritual setelah musim panen tiba sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang diberikan alam semesta dan juga sebagai ritual agar terhindar dari musibah dan bencana. Rasulan ini merupakan kemasan baru yang asalnya adalah ritual untuk menyongsong Nyi Pohaci-Raden Sadana. Karena adanya intervensi agama, sedikit banyak telah memaksanya untuk membuat kemasan baru. Intinya tetap sama, yakni menghargai alam semesta, dan bersyukur kepada Sang Hyang Jagadnata. Masih diwilayah Gunungkidul sampai sekarang tetap berlangsung ritual atau tradisi Wiwitan untuk menyambut musim panen.
Di Jawa tengah, sebuah kuil kecil tempat persembahan untuk Dewi Sri dibangun di tengah sawah. Masyarakat tradisional Jawa, terutama penghayat ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang disebut Pasrean atau Pasren yang maksudkan sebagai tempat Dewi Sri, agar mendapatkan kesuburan dan kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung Loro-Blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani, arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung Loro-Blonyo untuk mengartikulasikan pemahaman masyarakat Jawa akan filosofi Dewi Sri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.

Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Misalnya upacara Seren Taunyang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya. Wilayah ini dikenal sebagai lumbung padinya Jawa Barat.
Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri agar sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.
Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil dengan bambu yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Sari Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan agar Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi, dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga. Bali juga merupakan salah satu lumbung padi Nasional.
Nusantara adalah wilayah dengan penduduk yang mempunyai basic mata pencaharian agraris dan maritim. Hubungan antar manusia dengan alam telah mengkonstruksi falasafah dan nilai-nilai budaya adiluhung sebagai kearifan lokal. Oleh sebab itu upacara ritual adat serupa juga terdapat di hampir seluruh wilayah suku bangsa di Nusantara. Sebut saja misalnya ritual Adat Nuju Jerami di Bangka Belitung dan masih banyak lagi keragaman tradisi serupa di daerah lainnya.
Filsafat Loro-Blonyo
Patung Loro-Blonyo juga dapat menggambarkan konsep spiritual Jawa dengan apa yang disebut falsafah dwitunggal atau roroning atunggil seperti diungkapkan dalam serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegoro IV, terdapat pada pupuh pangkur podo 12 yang menggambarkan bagaimana seseorang dapat mencapai asas panunggalan, yakni antara manusia dengan Tuhan atau manunggaling kawula kalawan Gusti. Dalam konsep kepemimpinan Jawa juga dikenal falsafah panunggalan, atau asas manunggaling kawula (rakyat) dengan gusti (pemimpin). Antara rakyat dengan pemimpin haruslah bersatu padu, sinergis dan harmonis agar supaya dapat menciptakan kemakmuran bersama. Masyarakat dan penguasa sesungguhnya adalah pasangan. Jika konsep ini dapat dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehati-hari, maka bukanlah hal sulit untuk menciptakan suatu negeri yang adil makmur gemah ripah loh jinawi.
Simbol Dewi Sri-Raden Sedhana yang tercermin dalam patung simbolik Loro-Blonyo adalah merupakan salah satu kelengkapan ritual kesuburan di senthong tengah dalam pandangan budaya Jawa yang terkait dengan kosmologi masyarakat pendukungnya. Sebagai manivestasi pengharapan akan kesuburan dan kemakmuran. Apapun yang terjadi, bagaimanapun perkembangan zaman, nilai filosofi patung Loro-Blonyo sesungguhnya telah inheren dalam genetika manusia Jawa. Selamanya mengalir dalam darah dan sungsum tulang masyarakat Jawa, Sunda dan Bali dan dengan sendirinya akan tetap selalu ada selama manusia Jawa, Sunda, Bali masih ada di planet bumi. Biarpun filosofinya digempur habis-habisan oleh modernisasi dan religi, tetapi spirit Dewi Sri akan tetap dihormati dan dimuliakan oleh sebagian masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Karena Dewi Sri atau Nyi Pohaci dalam realitasnya adalah fakta kehidupan manusia agraris. Ia akan selalu ada selama kehidupan itu masih ada. Bahkan bukanlah sesuatu yang berandai-andai jika hancurnya kesuburan tanah di pulau Jawa, Sunda, dan Bali dapat masih diselamatkan apabila masih ada masyarakat agraris yang mengimplementasikan falsafah Loro-Blonyo dalam kehidupannya.
Dewi Sri diperkirakan sebagai sisa kepercayaan masyarakat Indonesia pada zaman kuno yang mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama. Pemujaan Dewi Sri diperkirakan berasal dari pemujaan Bhagawati Tara Dewi oleh para petani. Dalam salah satu wujudnya, Bhagawati Tara bermanifestasi sebagai Vasundhari atau Vasundharini. Ia digambarkan bertubuh kuning sambil memegang setangkai padi yang menguning. Jika kita mengulas buku-buku lawas atau dokumen sejarah, pemujaan kepada Bhagawati Tara Dewi berlangsung sebelum Kerajaan Majapahit, ditandai dengan dibangunnya Candi Kalasan oleh Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra. Candi tersebut diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi. Dalam tradisi masyarakat Konghucu juga memiliki filosofi yang sama, seperti dalam Kelenteng didapati tempat pemujaan untuk Dewi Sri.
Menjunjung Tinggi Peran dan Martabat Kaum Per-empu-an
Ada dua hal yang perlu saya garisbawahi. Pertama, tidak sepenuhnya benar apa yang disampaikan sebagian pengamat ideology gender, yang menilai bahwa budaya Nusantara bersifat maskulinisme, atau patrilineal, maksud saya lebih berpihak kepada kaum lelaki. Sebenarnya banyak sekali cerita-cerita heorik feminisme yang terkandung nilai luhur untuk menghargai dan menjunjung tinggi martabat dan peran kaum perempuan dalam dunia kekuasaan, sosial, ekonomi dan politik. Terlebih lagi jika kita mencoba membuka file-file sejarah sebelum abad 17, baik yang bernada mitologi maupun sejarah. Peran perempuan sangat besar dalam dinamika kebudayaan dan falsafah hidup Nusantara. Pada masa kini tampaknya memang ada pergeseran ideologi gender yang lebih cenderung kepada maskulinisme. Barangkali bukan berlebihan jika saya menilai terjadinya pergeseran ideology menjadi cenderung maskulin itu salah satunya disebabkan oleh ideologi agama-agama rumpun semit atau abrahamik yang mendominasi mindset orang-orang Indonesia hingga saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa agama-agama rumpun semit atau abrahamik “taste”nya sangat kuat aroma maskulinisme.
Kedua, setelah melihat realitas di lapangan tentang tema di atas membuat kami terpanggil untuk menelusuri jejak kearifan lokal (local wisdom) lebih mendalam berkaitan dengan misteri Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Benarkan demikian adanya ? Penulis tidak berani memberikan kesimpulan secara tegas. Saya lebih tertarik untuk melacak bukti-bukti. Jika memang sekedar mitologi atau dongeng yang berisi kebohongan, kenapa mitologi itu mampu bertahan mungkin lebih dari 1.500 tahun lamanya. Selain itu jika kita saksikan, pada masyarakat yang masih kental dengan tradisi pemujaan Dewi Sri atau Nyi Pohaci, di sana keadaan tanah persawahan tampak lebih subur dan masyarakatnya relative makmur. Hampir tidak pernah terjadi puso. Bahkan menjadi wilayah penyangga utama kebutuhan beras (lumbung padi) Nasional. Mungkin Menteri Kebudayaan dan Pertanian perlu bersinergi untuk mencari solusi agar Indonesia bener-bener meraih kamardikan. Merdeka dari (freedom from) penjajahan politik pangan, merdeka terhadap (freedom for) kebutuhan pokok makanan, merdeka dalam ketahanan pangan Nasional. Menteri Kebudayaan bersama para ustad mbok yao, mau menggalakkan tradisi Seren Taun, Wiwitan, Mapag Dewi Sri dan sejenisnya. Menteri Pertanian membuat Permen agar para petani menggunakan pola bercocok tanam dengan memperhatikan pranatamangsa. Itu kan ilmu adiluhur dan super canggih. Kenapa musti dibasmi hanya demi seorang naby. Ironis sekali, seiring makin dilupakannya tradisi menyongsong Dewi Sri Pohaci, di mana bangsa Indonesia yang pernah mempunyai nenek moyang bangsa agraris paling maju di dunia, tetapi kini pemerintah kebutuhan beras saja sudah témbré. Indonesia yang mempunyai tanah luas dan subur, pada kenyataannya soal kebutuhan pokok sangat terpuruk karena harus bergantung kepada bangsa lain. Apa gunanya sumber daya alam yang sangat berlimpah ini jika manusia tak mampu bersikap arif terhadap lingkungan alam?
Melihat Bukti
Saya melihat filosofi loro-blonyo selaras dengan filosofi lingga-yoni. Sama-sama melambangkan bahwa alam semesta ini serba berpasangan (baca : simbiosis mutualisme) yang akan mendatangkan kesuburan di muka bumi. Bedanya, Loro-Blonyo digambarkan dalam wujud manusia secara utuh, sedangkan lingga dan yoni hanya mengambil alat kelaminnya saja untuk melambangkan kesuburan.
Semesta ini akan menunjukkan mana kebohongan mana pula kebenaran melalui tanda-tanda atau bahasa alam yang bisa dibaca oleh manusia. Kebohongan itu cepat atau lambat akan terungkap, dan kebohongan pada akhirnya hanya akan menciptakan kerusakan dan kehancuran di muka bumi, minimal tidak ada pengaruh positif secara langsung untuk kehidupan. Seandainya filsafat loro-blonyoadalah kebohongan atau kepalsuan, tentu dengan suka rela tak ada lagi orang mau melakukan ritual sejenisnya. Sedangkan cerita tentang loro-blonyo sampai saat ini untuk masyarakat yang masih menjalankan tradisi ritual loro-blonyo pada kenyataannya mereka tampak ayom, ayem, tentrem, dan kemakmuran sedikit banyak selalu dapat mereka rasakan di tengah situasi dan kondisi perekonomian Nasional yang menghimpit. Siapa yang menghormati lingkungan alam dengan segala kehidupan dan kekuatan yang ada, dengan cara dan tradisinya masing-masing, menjadikan mereka sak tibo-tibane tansah nemu begja. Melihat realitas tersebut saya percaya ritual loro-blonyo memiliki kekuatan positif untuk mendatangkan kemakmuran dan kesuburan. Karena ritual itu mengandung sebuah makna akan keadaran manusia untuk menghargai, merawat, menjaga dan melestarikan hukum tata keseimbangan alam.
Misteri Kekuatan
Satu hal yang membuat saya masih penasaran, adakah kekuatan supernatural power pada saat masyarakat melakukan ritual loro-blonyo ? Suatu ketika saya mencoba berkoneksi dengan “Nyi Pohaci” melalui tata cara ritual yang biasa dilakukan masyarakat semenjak zaman dulu. Saya tetap menggunakan sepasang patung loro-blonyo sebagai media komunikasi (seumpama handphone) dengan kekuatan gaib, jika memang ada. Al hasil, saya memang merasakan adanya kekuatan supernatural power. Walaupun saya belum bisa menyaksikan apakah benar ada sosok anchester atau anchient spirit Dewi Sari Pohaci dan Raden Sedhana. Tetapi kekuatan gaib itu begitu kuat bisa saya rasakan sendiri. Mungkin itulah sumber kekuatan yang kemudian mendatangkan berbagai energi positif yang mendatangkan kesuburan tanah, dan kesuburan tanaman padi. Subyek kekuatan itu dari mana, saya masih mencoba menelusurinya.
Bagi sedulur-sedulur yang masih saklek menggunakan kacamata agama dan kesulitan memahami tulisan saya di atas, cobalah untuk membuka sedikit saja pola pikir yang selama ini menjadi kebiasaaan. Cobalah open mind set anda. Punishment sirik musrik saya kira sudah kurang efektif lagi untuk mengubah pandangan dan pilihan orang lain. Seringkali malah jadi bahan tertawaan. Mari kita mengurainya dengan anugrah Tuhan berupa nalar atau akal sehat, atau akal budi yang ada dalam kepala dan hati nurani kita. Bagi saya, semua hal gaib dapat dijelaskan secara rasional, dapat dimengerti dengan akal sehat. Jika kegaiban dinilai tidak masuk akal, jangan gegabah menuduh bahwa gaib adalah tidak masuk akal. Cobalah mengkoreksi kemampuan pikir anda. Jangan-jangan kemampuan nalar yang kurang diasah, dan tak pernah mau bersentuhan dengan spiritualitas yang sesungguhnya. Buruk muka cermin dipecah. Saya menyaksikan, betapa Tuhan sungguh Maha Rasional. Bukan maha emosional. Saya sudah males menuhankan emosi, ujung-ujungnya jadi orang yang cêtèk-akal, sengsara, sakit hati, dendam, dan jadi tukang ngremuk. Saya justru merasakan jauh lebih nikmat ketika menuhankan akal budi, karena pikiran menjadi merdeka dan menjadi lebih mencintai tuhan dengan cara yang rasional dan tetap harmonis dengan hukum tata keseimbangan alam.
Rahayu Sagung Titah Dumadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar