Sabtu, 07 Oktober 2017

Spirit/Semangat Mataram Yang Harus Diwariskan

“Niyat ingsun nyebar ganda arum, tyas manis kang mantesi, aruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”

Semangat Mataram

Mungkin generasi zaman sudah lupa atau sudah tidak populer lagi dengan istilah Semangat Mataram. Semangat Mataram merupakan visi yang dipegang oleh Keraton Mataram dan rakyat Mataram, yang berisi tiga pandangan hidup yakni : Mangasah Mingis-ing budi, memasuh malaning bumi, hamemayu hayuning bawana. Pandangan hidup itu melandasi semangat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya berlaku untuk Kraton dan rakyat Mataram, lebih khususnya bagi rakyat Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

1. Mangasah Mingising Budi

Artinya, mengasah ketajaman budi. Budi dalam bahsa Jawa disebut penggalih. Tidak mudah memahami makna dari istilah budi atau penggalih ini. Kiranya saya perlu memberikan definisi dan penjabaran yang gamblang dan mudah dipahami oleh para pembaca yang budiman.
Budi berbeda dengan akal pikiran. Budi lebih luas dan mendalam maknanya. Pikiran hanya menggunakan kemampuan pikir atau otak saja. Sedangkan budi, lebih dalam lagi, yakni berfikir dengan melibatkan hati nurani atau rasa sejati. Dalam bahasa Jawa diistilahkan penggalihGalih adalah inti, yang dimaksud penggalih adalah inti kesadaran yang dapat menumbuhkan sikap bijaksana. Bijaksana secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap dan cara pandang tepat dalam memahami dan menghadapi situasi yang ada. Bijaksana dan kebijaksanaan dapat diciptakan tetapi tidak cukup berbekal kesadaran akal fikiran saja, tetapi lebih dalam lagi yakni harus melibatkan kesadaran hati nurani.
Oleh karena itu mengasah ketajaman budi merupakan usaha agar menjadi pribadi yang awas dan cermat dalam memahami sesuatu. Sikap awas dan cermat inilah yang dibutuhkan agar supaya seseorang dapat mengambil sikap atau tindakan yang tepat tadi (bijaksana). Tanpa berbekal budi yang awas dan cermat, seseorang akan kesulitan menentukan suatu sikap bijaksana. Tindakannya sering salah kaprah dan memalukan.
Seperti digambarkan dalam pepeling Serat Wedhatama pupuh pangkur podo 2 dan pupuh Sinom podo 31 berikut ini :
Jinejer neng Wedatama | Mrih tan kemba kembenganing pambudi | Mangka nadyan tuwa pikun | Yen tan mikani rasa | Yekti sepi asepa lir sepah, samun | Samangsane pasamuan | Gonyak ganyuk nglilingsemi.
Artinya :
Dirangkai dalam serat Wedhatama | agar tidak tumpul budinya | walaupun sudah tua pikun | jika tidak memahami rasa sejati (batin) | niscaya kosong tiada berguna | bagai ampas, percuma sia-sia | di dalam setiap pertemuan | sering bertindak ceroboh memalukan.
Mangkono janma utama | Tuman tumanem ing sepi | Ing saben rikala mangsa | Masah amemasuh budi | Laire anetepi | Ing reh kasatriyanipun | Susilo anor raga | Wignya met tyasing sesame | Yeku aran wong barek berag agama.
Artinya :
Demikianlah manusia utama | Gemar terbenam dalam sepi (meredam nafsu) | Di saat-saat tertentu | Mempertajam dan membersihkan budi | Bermaksud memenuhi tugasnya sebagai satria | berbuat susila rendah hati | pandai menyejukkan hati pada sesame | itulah sebenarnya yang disebut menghayati agama.
Itu artinya, budi harus diupayakan dengan cara memahami dan mengolah rasa, yakni rahsa sejati. Dalam bahasa Indonesia hampir sepadan dengan getaran hati nurani. Bagi siapapun yang ingin menjadi pribadi yang bijaksana, ketajaman budi tidak bisa diabaikan begitu saja. Modal kecerdasan otak tidak cukup, namun perlu mengolah batin agar sampai pada berfikir dengan penggalih. Di sinilah maksud pentingnya mangasah mingising budi. Awas dan cermat agar menjadi pribadi yang arif dan bijaksana.
Pemberdayaan akal budhi mencakup olah pikir, olah rasa, olah basa dan olah bawaOlah pikir dilakukan dengan cara mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dan tidak boleh fanatik terhadap suatu ilmu, tidak boleh malas berfikir, meski harus dengan sikap hati-hati, cermat, waspada, tetapi tidak boleh apriori atau curiga, dan terburu-buru memberikan vonis negatif terhadap suatu ilmu pengetahuan baru. Sebaliknya kita harus membuka pola pikir (open-mind) seluas-luasnya terhadap berbagai ragam ilmu pengetahuan. Pahami, dalami, setelah benar-benar paham, kemudian simpulkan agar dapat bersikap bijaksana. Olah rasa dilakukan dengan eneng-ening, semedi, dan gemar prihatin.  Olah basa, yakni mampu bertutur kata dengan baik, santun, mangerteni empan-papan, atau melihat dan memahami situasi dan kondisi, bicara seperlunya, apa adanya, tidak berlebihan (talkative), serta mampu menjadi pendengar yang baik. Yang tidak kalah penting adalah bertutur katalah yang menentramkan hati sesama. Olah bawa, yakni menjaga sikap atau bahasa tubuh agar santun, luwes, jangan berlebihan. Diharapkan agar  ucapan dan sikap (solah dan bawa) menjadi anggun, maksudnya memiliki estetika dan wibawa. Begitulah idealnya pribadi yang matang lahir dan batinnya.

2. Memasuh Malaning Bumi

Yang dimaksudkan dengan memasuh malaning bumi, atau membersihkan kotoran bumi adalah membersihkan semua hawa nafsu yang mengotori unsur “jagad kecil” jiwa dan raga. Hawa nafsu tidak akan membuat diri menjadi kotor selama digunakan sebagaimana mestinya, sesuai fungsinya dan kodratnya, dan tidak berlebih-lebihan dalam menuruti kemauannya (nuruti rahsaning karep). Usaha untuk membersihkannya dengan menempuh jalan nuruti kareping rahsa sejati, yakni kebutuhan batin atau kebutuhan sukma sejati. Dalam Serat Wedatama karya Eyang Gusti Ingkang Wicaksana Sri Mangkunegoro ke IV (1811-1882 M) menyampaikan pesan agar selalu hamemayu hayuning bawana seperti termaktub dalam Pupuh Sinom podo 15 Serat Wedatama.
Nulada laku utama | Tumrape wong tanah Jawi | Wong agung ing Ngeksiganda | Panembahan Senopati | Kepati amarsudi | Sudane hawa lan nepsu | Pinepsu tapa brata | Tanapi ing siyang ratri | Amamangun karyenak tyasing sesami.
Artinya :
Contohlah perilaku utama | bagi kalangan orang Jawa (Nusantara) | orang besar dari Ngeksiganda (Mataram) | yang bernama Panembahan Senopati | Beliau tekun  mengurangi hawa nafsu, dengan jalan laku prihatin (bertapa) | siang malam | dengan kasih sayang selalu berkarya menciptakan tenteram hati pada sesama.
Rahsaning karep, dalam pewayangan digambarkan dalam empat tokoh wayang. Pertama, Parabu Dasamuka, raksasa yang penuh angkara murka, jika keinginan ragawinya tidak terpenuhi akan murka. Segala sesuatu ingin dia kuasai. Bahkan sampai diumpamakan, bumi ini pun mau digulung menjadi miliknya sendiri. Aji Pancasona yang dia miliki lebih menggambarkan nafsu ingin hidup selamanya, melawan kodrat alam, dari pada gambaran kesaktiannya. Padahal sesungguhnya yang tidak mati adalah hawa nafsu angkara murkanya yang mengnedap di dalam jasadnya yang tidak bisa mati. Kedua, adalah tokoh Kumbakarna, raksasa yang selalu dikuasai nafsu keserakahan ingin makan, minum, dan tidur sekenyang-kenyangnya dan sebanyak-banyaknya. Sifat mau enaknya sendiri, mau menangnya sendiri, dan mau benarnya sendiri. Atau nafsu “3G”, golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe. Dan sifat pemalas selalu melekat pada tipikal pribadi  seperti itu.  Yang ketiga, digambarkan dalam tokoh wayang, Sarpa Kenaka. Manusia ular yang berwujud raksasa dan sudah beristri delapan tetapi masih selalu mencari perawan muda. Dalam serat Wedatama digambarkan dalam pupuh pocung podo 34 :
Angkara gung | Neng angga anggung gumulung | Gegolonganira | Triloka lekeri kongsi | Yen den umbar ambabar dadi rubeda.
Artinya :
Nafsu angkara yang besar | ada di dalam diri | kuat menggumpal | menjangkau hingga tiga zaman | jika dibiarkan saja perkembangannya, akan berubah menjadi gangguan.
Sedangkan yang keempat, digambarkan sebagai manusia kesatria yang tampan rupawan bernama Gunawan Wibisono. Nafsunya adalah kasih-sayang kepada seluruh makhluk hidup termasuk bangsa halus, demit priprayangan, jim setan bekasakan. Mencintai kebenaran sejati, dan digambarkan sebagai kesatria yang arif dan bijaksana.
Kareping rahsa disimbolkan ke dalam tokoh wayang Gunawan Wibisono digambarkan sebagai kesatria yang mampu menaklukkan ketiga raksasa jahat tersebut. Ia juga digambarkan sebagai wujud akhir dari ketiga raksasa jahat itu, setelah mampu dikendalikan. Artinya ketiga raksasa itu pada dasarnya memiliki fungsi dan manfaat yang baik. Tetapi ketiganya menjadi sangat jahat karena mereka telah menyalahgunakan fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan di mercapada, atau bumi ini. Kenapa digambarkan sebagai raksasa ? Karena raksasa disimbolkan sebagai sifat kebodohan, ketamakan, dan angkara murka. Tetapi ia sangatlah setia. Tetapi kesetiaannya pun disalahgunakan, setia kepada kejahatan.
Dalam Serat Wedatama karya Eyang Gusti Ingkang Wicaksana Sri Mangkunegoro ke IV (1811-1882 M) menyampaikan pesan agar mewaspadai sifat-sifat angkara tersebut seperti termaktub dalam Pupuh Pangkur podo 3, 4, 6, 7, 8 Serat Wedatama :
Nggugu karsaning priyangga | Nora nganggo peparah lamun angling | Lumuh ing ngaran balilu | Uger guru aleman | Nanging janma ingkang wus waspadeng semu | Sinamun ing samudana | Sesadon ingadu manis |
Artinya :
Mengikuti kehendak hawa nafsunya sendiri | Bila berujar tanpa dipertimbangkan  terlebih dulu (asal ngomong sepuas hati) | Namun ia tak mau dianggap bodoh | Sebaliknya selalu ingin dipuji-puji | (sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami  (ilmu sejati) tak bisa ditebak | berwatak rendah hati | selalu berprasangka baik dan enak dilihat.
Si pengung nora nglegawa | Sangsayarda deniro cacariwis | Ngandhar-andhar angendhukur | Kandhane nora kaprah | saya elok alangka longkanganipun | Si wasis waskitha ngalah | Ngalingi marang si pinging |
Artinya :
Sementara itu si dungu tidak menyadari kekurangannya | Bualannya semakin menjadi jadi | bicara ngelantur yang tidak-tidak | apa yang diucap salah kaprah dan serba terbalik dari kenyataan| makin keterlaluan, tak ada jedanya | Lain halnya, orang yang bijaksana batinnya awas dan bersifat mengalah | bahkan terhadap orang yang bodoh, tidak akan mempermalukan dirinya.
Urip sepisan rusak | Nora mulur nalare ting saluwir | Kadi ta guwa kang sirung | Sinerang ing maruta | Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung | Pindha padhane si mudha | Prandene paksa kumaki |
Artinya :
Hidup sekali saja berantakan | pikiran yang sempit, penalarannya simpang siur | Bisa diumpama goa gelap dan menyeramkan | Saat dihembus angin | Suaranya gemuruh dan berdengung tanpa makna | Seperti halnya sifat anak muda | Tetapi masih pula berlagak congkak.
Kikisane mung sapala | Palayune ngendelken yayah wibi | Bangkit tur bangsaning luhur | Lha iya ingkang rama | Balik sira sarawungan bae during | Mring atining tata krama | Nggon anggon agama suci.
Artinya :
Tujuan hidupnya begitu rendah | Maunya mengandalkan orang tua/guru/juragan/bosnya | Yang terpandang serta seorang bangsawan | Itu kan ayahmu nak ! | Sedangkan kamu kenal saja belum apalagi mumpuni | akan hakikatnya tata krama | Seperti diajarkan dalam ajaran agama-agama suci.
Socaning jiwangganira | Jer katara lamun pocapan pasthi | Lumuh asor kudu unggul | Semengah sesongaran | Yen mangkono keno ingaran katungkul | Karem ing reh kaprawiran | Nora enak iku kaki.
Artinya :
Cerminan dari dalam jiwa raga mu | Nampak jelas walau tutur kata halus | Sifat pantang kalah maunya  menang sendiri | Sombong dan mentang-mentang | Orang seperti itu disebut orang yang terlena | sangat bernafsu pada kekuasaan| Tidak baik itu nak !
3. Hamemayu Hayuning Bawana
Hamemayu hayuning bawana’ artinya menjaga dan melestarikan berkah dan anugerah alam. Kesadaran ini menuntut perilaku dan tindakan manusia agar selalu selaras dan harmonis dengan tata hukum keseimbangan alam yang meliputi jagad raya ini, hingga kehidupan seluruh makhluk. Dalam konteks agama, barangkali ia sepadan dengan apa yang dimaksudkan dengan hubungan baik antarsesama manusia. Tetapi, dalam konsepsi hamemayu hayuning bawana yang tertuang dalam pokok ajaran Kejawen mempunyai arti lebih luas dan ditujukan bagi seluruh makhluk hidup, tak terkecuali, bahkan terhadap semua ragam benda-benda alam. Bagaimana manusia harus bertindak kemudian dijabarkan melalui isi ajaran yang terkandung dalam Pusaka Hasta Brata. Menanamkan sifat Hasta Brata ke dalam diri, merupakan bentuk panunggalan, atau manunggaling kawula Gusti. Seseorang yang berhasil mencapai level manunggaling kawula Gusti sifat dan perilakunya akan memiliki keselarasan dan keharmonisan dengan hukum tata keseimbangan alam. Artinya seseorang tidak akan membuat kerusakan lingkungan alam, sebaliknya, ia menebarkan sikap welas asih dan selalu memberikan kehidupan pada seluruh makhluk. Uripe wus murup. Maka apapun tindakannya tidak pernah melawan hukum alam, dan apa yang dikehendakinya adalah kehendak Roh Jagad Agung. Maka perkataannya memiliki kekuatan sabda pandita ratu, apa yang diucapkan akan terjadi. Dalam Serat Wedatama karya Eyang Gusti Ingkang Wicaksana Sri Mangkunegoro ke IV (1811-1882 M) pupuh pangkur podo 12 sbb :
Sapantuk wahyuning Alah | Gya dumilah mangulah ngelmu bangkitBangkit mikat reh mangukut | Kukutaning jiwangga | Yen mengkono kena sinebut wong sepuh | Lire sepuh sepi hawa | Awas roroning atunggil |

Artinya :
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan | Dengan cermat mencerna ilmu tinggi | Memahami ilmu kasampurnan | Batinnya cermat dalam ilmu manunggaling kawula Gusti | Bila demikian pantas disebut “orang tua”. Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu | Paham akan dwi tunggal (menyatunya sifat-sifat alam atau sifat Tuhan ke dalam diri kita).
Itulah sejatinya kesaktian yang ada pada diri pribadi nawung-krida. Sikapnya bijaksana dan penuh welas asih, membuat senang orang yang melihat, tutur kata yang tulus, serta selalu menumbuhkan rasa damai. Tidak ada lagi sifat iri, dengki, pendendam, pemarah, tidak banyak bacot, dan tidak suka tindak kekerasan, menonjol sifat lemah-lembut tidak ingin mengalahkan dan menguasai pihak lain. Di balik semua karakter positif, rendah hati, mengalah dan bahkan mungkin terkesan lembek itu, tetapi ia justru sosok pribadi yang powerfull, penuh kekuatan, wibawa, dan kekuasaanya atas kehidupan ini sangat besar.
Dari ketiga Semangat Mataram itu, poin pertama menjadi bekal untuk bisa melaksanakan dua poin berikutnya. Artinya agar seseorang dapat melaksanakan memasuh malaning bumi dan hamemayu hayuning bawana tidak hanya memerlukan kecerdasan pikiran saja, lebih dari itu, butuh kecerdasan spiritual.
Akhir kata, mari kita bersama-sama instropkesi diri. Apakah diri kita termasuk orang yang memiliki sifat-sifat buruk seperti disebutkan dalam kritik bait-bait Serat Wedatama di atas ? Jika merasa diri sebagai orang yang menjadi sasaran kritik bait-bait Serat Wedatama di atas, itu artinya menjadi jalan kemajuan untuk meningkatkan kualitas diri. Bisoa rumangsa, aja rumangsa bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar