Dua minggu setelah wafatnya Sultan Adiwijaya diadakanlah suatu pertemuan yang dihadiri oleh para kerabat keluarga Sultan dan saudara-saudaranya, dan para pembesar Demak dan pembesar-pembesar lain yang menjadi bawahan Pajang. Sunan Kudus ikut hadir juga. Itulah pertama kalinya Sunan Kudus berada di Pajang, karena semasa Sultan Adiwijaya masih hidup, ia sama sekali tidak berani menampakkan dirinya di hadapan Sultan.
Pertemuan itu sengaja diadakan untuk mengangkat seorang raja baru pengganti Sultan Adiwijaya. Calon yang akan dipilih hanya ada 2, yaitu Pangeran Benawa, putra Sultan Adiwijaya, dan Arya Pangiri, menantu Sultan yang menjadi Adipati Demak. Terjadi perdebatan sengit di dalam pertemuan tersebut, karena masing-masing orang yang hadir mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Tetapi karena sebagian besar para pembesar Demak dan pembesar-pembesar lainnya di bawah Pajang sudah beragama Islam, maka Sunan Kudus memiliki pengaruh yang besar terhadap mereka. Akhirnya mereka pun memilih Arya Pangiri yang didukung oleh Sunan Kudus. Dengan demikian, berdasarkan suara terbanyak di bawah pengaruh Sunan Kudus, Arya Pangiri terpilih sebagai raja baru pengganti Sultan Adiwijaya, dan Pangeran Benawa sang putra mahkota dijadikan adipati di Jipang.
Pangeran Benawa, sang putra mahkota yang lemah perbawanya, yang membiarkan orang-orang luar yang tak punya kepentingan untuk ikut menentukan jalannya pemerintahan telah menjadikannya tersingkir. Kuatnya pengaruh intrik-intrik kekuasaan Sunan Kudus membuat statusnya yang putra mahkota menjadi tak berarti, bahkan ia sampai bisa dijadikan Adipati di Jipang. Pelajaran politik yang terlalu mahal untuk ditebus.
Ia benar-benar merasa "dibuang". Jipang adalah daerah yang memusuhi Sultan Adiwijaya, sehingga Pangeran Benawa yang adalah putra Sultan Adiwijaya pun dimusuhi dan tidak dihormati. Kebijakan dan perintahnya tidak ditaati oleh para bawahannya. Ditambah lagi pengaruh Sunan Kudus kepada banyak orang di Jipang dan Demak telah dengan sengaja menjadikannya pemimpin yang tidak dihormati. Arya Pangiri pun, yang berada di bawah pengaruh Sunan Kudus, sebagai raja Pajang seringkali membuat kebijakan dan perintah yang merugikan dirinya dan menjadikan dirinya hina di mata orang banyak.
Akhirnya Pangeran Benawa diam-diam meminta bantuan kepada Panembahan Senopati di Mataram untuk menyingkirkan Arya Pangiri.
Sultan Adiwijaya adalah raja jawa pertama di jaman Islam yang dengan tegas menolak masuknya agama Islam di Pajang. Sultan Adiwijaya menjadi raja jawa pertama yang berkuasa menentukan mana agama yang boleh dan mana yang tidak boleh masuk ke dalam wilayahnya. Karena sikap tegasnya itu pada masa pemerintahannya tidak ada penganiayaan dan pembunuhan oleh kalangan Islam terhadap rakyatnya yang saat itu banyak terjadi di tempat lain. Yang melakukan itu pasti dibinasakannya. Bahkan sikap keras Sultan Pajang itu membuat para Wali dan para penyebar agama Islam lain tidak ada yang berani datang ke Pajang dan tidak ada seorang pun yang berani membuka pesantren di Pajang. Hanya Sunan Kalijaga saja yang kadang datang dan hadir di Pajang. Itu pun karena hubungan yang baik dirinya dengan sang Sultan, bukan karena ia ingin menyebarkan agama Islam di Pajang.
Sikap keras Sultan Pajang itu menjadi panutan dan teladan bagi raja-raja dan adipati / bupati lain untuk tidak begitu saja membiarkan agama Islam berkuasa di dalam pemerintahannya. Sekalipun rajanya, pembesar-pembesar kerajaan dan rakyatnya sudah beragama Islam, tetapi mereka tidak menempatkan dirinya dan kerajaannya di bawah pengaruh kekuasaan agama Islam dan tidak berada di bawah pengaruh Wali siapapun.
Panembahan Senopati yang bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa menjadi raja pertama peletak dasar-dasar kerajaan / kesultanan di tanah jawa yang sekalipun rajanya dan rakyatnya sudah beragama Islam, tetapi sebagai seorang raja ia tidak menempatkan dirinya dan kerajaannya di bawah pengaruh kekuasaan agama Islam dan tidak berada di bawah pengaruh Wali siapapun. Gelarnya itu menggambarkan bahwa selain ia menjadi raja, panglima tertinggi angkatan perang, ia juga menjadi pemimpin agama di negerinya. Pemerintahan dan kerajaannya tidak berada di bawah pengaruh Wali atau ulama atau tokoh-tokoh agama Islam lainnya, sehingga kasus intrik-intrik agama terhadap kekuasaan seperti yang dialami oleh Pangeran Benawa tidak akan pernah terjadi pada masa pemerintahannya.
Karena rajanya, pembesar-pembesar kerajaan dan rakyatnya sudah beragama Islam Panembahan Senopati melalui para pujangga dan sesepuh masyarakat mengeluarkan banyak kidung-kidung dan petuah-petuah kesepuhan jawa untuk mengadaptasikan agama Islam kepada rakyatnya, untuk mengkondisikan agama Islam perlahan-lahan menggantikan ajaran kebatinan ketuhanan yang selama ini dianut oleh orang Jawa.
Raja-raja Mataram berikutnya juga mengikuti jejaknya, tidak menempatkan raja dan kerajaan di bawah agama. Raja-rajanya menjadi pemimpin agama di kerajaannya. Bahkan Sultan Agung, melalui para pujangganya, mengadaptasikan kalender perhitungan hari jawa ke dalam kalender Islam dan merubah isi ritual-ritual budaya asli jawa menjadi ritual-ritual yang bernuansa Islam yang sekarang kita sebut budaya Islam jawa.
Atas permintaan Pangeran Benawa itu Panembahan Senopati membawa segenap tentara Mataram beserta tambahan tentara dari daerah-daerah lain yang bersekutu dengannya untuk menyerang Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan Pajang. Arya Pangiri dikembalikan ke tempat asalnya di Demak. Pangeran Benawa kemudian dijadikan raja Pajang yang ketiga.
Walaupun sudah menjadi raja Pajang, tetapi Pangeran Benawa kemudian menyerahkan pusaka-pusaka Pajang kepada Panembahan Senopati sebagai tanda setia dan menempatkan kekuasaan Pajang di bawah kekuasaan Mataram. Dengan demikian mereka dapat tetap hidup rukun tidak ada persaingan kekuasaan dan hubungan persaudaraan mereka tetap terjalin erat.
Selain Pajang dan Demak yang sudah berada di bawah Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Saat itu Pati dipimpin oleh Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya, Ratu Waskitajawi, menjadi istri Panembahan Senopati dan menjadi permaisuri utama di Mataram.
Pada waktu yang lain gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Karena tidak siap dan tentaranya kalah banyak, Adipati Madiun memilih mundur untuk meminta bantuan kepada Adipati Surabaya, pemimpin persekutuan kadipaten-kadipaten di Jawa Timur, bekas wilayah kerajaan Majapahit. Tetapi putrinya Retno Dumilah memilih bertahan, didampingi oleh para pengawal pilihan.
Panembahan Senopati tidak menemui banyak kesulitan untuk masuk ke kadipaten Madiun. Dari luar istana kadipaten dilihatnya bangunan itu telah kosong tidak ada penjagaan. Ia maklum bahwa sang adipati pasti telah mundur untuk meminta bantuan kepada sekutu-sekutunya. Tetapi ketika Panembahan Senopati telah memasuki halaman istana dan sudah dekat ke bagian depan bangunan istana, tiba-tiba sekelebatan anak-anak panah meluncur cepat ke arahnya. Sedemikian cepatnya hingga ia tidak sempat menghindar dan beberapa anak panah tepat mengenai dadanya.
Tetapi keajaiban terjadi. Anak-anak panah itu seperti menabrak tembok. Tidak ada panah yang menancap di dada Panembahan Senopati. Dadanya sama sekali tidak terluka. Itulah keajaiban dari mustika wesi kuning yang dipakainya, mustika wesi kuning yang dulunya adalah miliknya Arya Penangsang. Sekalipun keampuhan wesi kuning itu masih kalah oleh tombak Kyai Plered, tetapi ternyata masih mumpuni untuk melindunginya dari serbuan anak-anak panah.
Setelah anak-anak panahnya habis dan tidak mampu melukai Panembahan Senopati, Retno Dumilah keluar dari dalam istana diikuti oleh para pengawalnya dan menyerang Panembahan Senopati dengan pedang. Tetapi serangan Retno Dumilah dan para pengawalnya dapat dihindari. Bahkan kemudian Panembahan Senopati dapat menangkap tangan Retno Dumilah dan menelikungnya. Dikuncinya tangannya hingga Retno Dumilah tak dapat lagi bergerak. Akhirnya Retno Dumilah pun mengaku kalah. Para pengawalnya pun ikut tunduk menurunkan senjata.
Di kemudian hari Retno Dumilah bersedia dijadikan istri oleh Panembahan Senopati, karena ia pernah bernazar bahwa ia hanya mau diperistri oleh seorang lelaki yang berhasil mengalahkannya.
Panembahan Senopati terus berusaha memperluas kekuasaannya dengan bergerak menundukkan penguasa-penguasa kadipaten di Jawa Timur yang berada dalam persekutuan di bawah adipati Surabaya.
Setelah kedua istrinya itu, Panembahan Senopati mendapatkan 3 istri lagi, sehingga semuanya menjadi 5 orang istri. Ratu Waskitajawi menjadi permaisurinya. Tetapi hingga akhir hayatnya Panembahan Senopati tidak memiliki keturunan, sedangkan 2 orang putri yang ada padanya adalah anak-anak dari adik iparnya. Sesaat sebelum meninggal karena sakit keras, Panembahan Senopati menitipkan kekuasaan pemerintahan Mataram kepada salah seorang menterinya sebagai penggantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar